Lentera Malam
Sebuah deskripsi dari apa aja yang dirasa, dilihat dan harapan dalam sebuah kubikel kecil sebuah lentera dalam kegelapan
Wednesday, July 10, 2013
Testing on my belief
Friday, July 5, 2013
Belajar untuk Tersenyum
Satu hal yang menarik saat menunggu di sebuah lobby kawasan pemukiman, banyak orang yang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan tidak mengacuhkan lingkungan sekitarnya. Akibatnya? Orang akan terlihat dingin, acuh, mudah curiga, dan cenderung individual. Benarkah?
Saat satu orang perempuan muda sexy berjalan dengan muka riang penuh arti mengingat dengan mudahnya dia meyakinkan kekasihnya yang banyak uang itu untuk memberinya setumpuk uang yang kini ada di kantung celana super pendeknya. Tanpa sadar dia meraba saku tebal itu sambil mengenggam ponsel mutahir yang super besar dan super canggih itu.
Bahkan kali ini tatapan mata Satpam yang hendak memberitahukan bahwa sang perempuan itu berjalan terlalu ke tengah jalan mobil tak juga digubrisnya. Mungkin pikirannya masih sibuk mengingat begitu mudahnya mendapatkan apa yang dia mau hanya dengan menjajakan badan dan sikap manjanya untuk dapat bersuka ria di pusat perbelanjaan yang menjajakan barang mewah kesukaannya. Bahkan ketika sang Satpam tersenyum sopan dan mengatakan untuk berhati-hati, tidak sedikit pun sang perempuan muda itu menoleh atau membalas senyuman itu.
Tak lama, seorang wanita setengah baya yang berjalan dengan anggunnya dan suara benturan sepatunya yang terlihat mengkilap membahana sepanjang lorong lobby itu menarik perhatian semua orang, termasuk diriku. Tak ketinggalan tas bermerk, wangi khas parfum mahal, dan berlian yang menghiasi tubuhnya seakan menghipnotis perhatian pria maupun wanita di sekitarnya untuk menatap wanita itu.
Yang menarik perhatianku adalah sorot matanya yang kosong dan terlihat lelah seakan memancing banyak pertanyaan dibenakku. Apakah semua yang dia punya tidak dapat menawarkan kegelisahan hatinya? Apakah masih ada hal yang belum dia dapatkan di dalam hidupnya sehingga membuat dia tidak terlihat bahagia dengan apa yang dia telah punyai? Bahkan ketika mobil mewahnya datang dan sang supir membukakan pintu untuknya dengan senyum hormat dan sang Satpam yang tersenyum untuk mengucapkan selamat sore, tidak juga dapat menggugah kesadarannya.
Tetapi sekali lagi sang Satpam tak gentar dan terpengaruh dengan apa yang terjadi. Dan ketika suara batuk kecilku pun menarik perhatiannya, dia berkata dengan sangat sopan,
“Mbak, anginnya kencang dan dingin, lebih baik nunggunya di dalam”, katanya sang Satpam kepadaku.
Serta merta aku menjawab senyumannya dan berkata, “Terima kasih, Pak. Sebentar lagi suami saya datang. Saya ingin melihatnya langsung dari sini.”
Kali ini senyum sang Satpam berkembang dengan ringannya, bak menggambarkan rasa senangnya ternyata akhirnya ada yang menggubris perkataannya walau dia seorang satpam pemukiman bertingkat ini.
Bahkan saat beberapa wanita dan pria yang terlihat sangat terhormat melintas menuju sebuah mobil yang datang, sang Satpam tetap dengan senyum riangnya untuk membukakan pintu mobil. Sekali lagi, tidak ada satupun dari mereka yang membalas atau menggubris sapaan sang Satpam. Mereka terlalu sibuk berbicara dengan sesamanya atau memainkan ponsel seakan dunia ada di genggamannya.
Hingga saat suamiku datang dan kami berlalu dari lobby itu, saya hanya tersenyum dan menggangguk hormat kepada sang Satpam yang tulus itu. Sang Satpam kali ini membalas dengan tersenyum dan menggangguk dengan hormat.
Walau menjadi seorang Satpam, tentunya tidak mudah untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan berhadapan dengan tipe orang-orang seperti tadi. Apapun anggapan orang lain kepadanya, menganggap dia tidak ada atau menganggap dia hanya satpam rendahan yang tidak perlu diperhatikan, sang Satpam tetap menjalankan tugasnya dengan baik untuk menjaga dan berusaha menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.
Ataukah kita sebagai penghuni sudah terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing dan tidak lagi melihat di sekeliling kita?
Apakah senyuman kita sudah terlalu mahal untuk diberikan kepada orang lain?
Thursday, June 20, 2013
Terima kasih untuk selalu ada disampingku
Saturday, February 23, 2013
New Day and New Challenges
Wednesday, December 26, 2012
Memutuskan untuk Melakukan Perubahan
Suami? well,... sudah lebih dari 2 minggu aku dan suamiku kini mengikrarkan janji sehidup semati. Sebuah momen yang kita tunggu-tunggu selama lebih dari 4 tahun, akhirnya terwujud. Walau dengan rencana yang jauh dari yang kami persiapkan sebelumnya.
Perubahan. Yup, perubahan yang sangat berbeda ini, adalah sebuah komitmen jangka panjang, bahkan keinginan kami, untuk seumur hidup, adalah sebuah awal dari segala-galanya. Bukan karena menikah karena aku akan meninggalkan tanah air untuk waktu tidak bisa dibilang sebentar, ataukah menikah karena aku ingin sekali keluar dari lingkungan rumah yang sudah menyesakkan hati itu, tetapi menikah untuk memulai hidupku dan hidup suamiku dengan apa yang kita berdua impikan sejak pertama membuat komitmen untuk menjalin hubungan lebih serius dari sekedar berteman.
Sebuah perubahan drastis, dari aku yang bebas menentukan segala sesuatu yang ingin aku lakukan terhadap hidupku, menjadi sebuah komitmen berdua dimana semua hal yang akan dilakukan adalah demi kebaikan dan keinginan kita berdua. Aku yang dulu tentunya sudah berakhir, dan kini berlanjut menjadi aku dalam kami yang akan hidup dan beraktifitas untuk keluarga tanpa menepikan pandangan, visi, dan tujuan yang dulu aku inginkan sebelum menikah.
Menikah bukanlah judi yang masih menebak kemana arah akan membawa, karena jika melenceng dari arah kebahagiaan yang kita impikan, banyak orang yang kemudian menyerah di tengah jalan. Bukan pula menikah hanya untuk melengkapi tujuan hidup kita agar menjadi lebih sempurna, tanpa tahu takaran kesempurnaan mana yang digunakan. Tetapi bagiku, menikah, adalah keputusan yang secara sadar aku dan suamiku inginkan untuk membuat cerita kami berdua menjadi lebih berwarna dan bermakna untuk kami berdua, dan anak-anak kami kelak, serta makhluk hidup di sekitar kami. Kami yang merencanakannya sehingga kemana bahtera ini pergi, kami akan berusaha untuk menjadi pelautnya, tanpa harus menurunkan sauh atau merapat ke tepian.
Karena, segala keputusan yang kita lakukan harus siap dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi, tanpa harus menyalahkan takdir atau Tuhan yang menjadikan hidup menjadi tidak nyaman untuk dilalui.
Dan aku bersyukur, segala sesuatu yang kami niatkan, menjadi lebih mudah, sehingga kami juga akan dapat memudahkan orang lain pula untuk mendapatkan impian yang mereka inginkan.
Wednesday, October 17, 2012
Ujian Itu Adalah Bagaimana Berhadapan Dengan Diri Sendiri
Masalahnya adalah seberapa banyakkah kita mau jujur dengan diri sendiri dan berkata pada cermin yang ada di depan sana, "Halo Sahabat, mari kita hadapi semua ujian itu dengan suka cita".
Saturday, April 14, 2012
Manusia dan Alam Pikirannya
Jika sebuah kalimat ini yang menjadi pekerjaan rumah dalam beberapa tahun ini, lalu sampai dimanakah informasi yang didapat? Jika pernyataan ini menjadi sebuah pertanyaan, sejauh apa aku menemukan jawabannya?
Langkah awal yang mungkin aku lakukan adalah meletakkan semua apa yang kupikirkan atas sesuatu dan berdiri ditengah kesunyian sambil terdiam. Diam dalam kedalaman hati untuk mencari tahu, siapakah aku?
Dapatkah aku melihat diriku sendiri secara jujur tanpa adanya pembenaran yang selama ini membentengiku? Menerima bahwa aku baik, aku jahat, aku cantik, aku buruk rupa, aku berbohong, aku jujur, aku hebat, aku pecundang, aku terkenal, aku terkucilkan, aku, aku, dan segala apa yang aku pikirkan selama ini.
Bahkan saat aku memberikan penilaian terhadap orang lain disekitarku, untuk orang yang aku cintai, aku benci, aku hormati, aku hina, aku senangi, aku jahati, dan segala yang aku pikirkan terhadap seseorang selama ini. Bisakah aku menjadi aku tanpa aku yang memberikan penilaian terhadap aku, orang lain bahkan terhadap sesuatu yang ada.
Lalu dengan aku dan apa yang aku inginkan. Menerima bahwa apa yang aku inginkan tidak dapat aku dapati, juga apa yang telah aku dapati dan apa yang aku inginkan lagi. Aku dan apa yang aku inginkan, bagaikan jaring yang mengurung hati dengan keinginan-keinginan dalam aku dan orang lain. Bisakah aku menerima atas semua dari apa yang telah ada saat ini dengan rasa syukur dan tanpa penilaian apapun?
Aku dan pikiranku bagaikan sebuah buku dengan lembar tanpa batas dan seorang penulis yang selalu siap dengan pena ditangannya. Yang akan bergerak terus dalam waktu dalam pikiran dan rasa. Bisakah aku menerima tanpa semua itu dan menelanjangi diriku dengan apa yang selama ini melekat ditubuhku? Menjadi aku tanpa apa-apa dan aku tanpa alam pikiran, alasan dan penilaianku atas apa pun.
Jika orang menyebutkan bahwa itu aku mati dan tiada, apakah aku dapat menyadari bahwa semua itu tidak ada apa-apanya. Hampa, nol, atau nihil.
Beranikah diriku melihat aku apa adanya, tidak ada apa-apa, dan bukan siapa-siapa?