Saturday, April 14, 2012

Manusia dan Alam Pikirannya

Jika sebuah kalimat ini yang menjadi pekerjaan rumah dalam beberapa tahun ini, lalu sampai dimanakah informasi yang didapat? Jika pernyataan ini menjadi sebuah pertanyaan, sejauh apa aku menemukan jawabannya?

Langkah awal yang mungkin aku lakukan adalah meletakkan semua apa yang kupikirkan atas sesuatu dan berdiri ditengah kesunyian sambil terdiam. Diam dalam kedalaman hati untuk mencari tahu, siapakah aku?

Dapatkah aku melihat diriku sendiri secara jujur tanpa adanya pembenaran yang selama ini membentengiku? Menerima bahwa aku baik, aku jahat, aku cantik, aku buruk rupa, aku berbohong, aku jujur, aku hebat, aku pecundang, aku terkenal, aku terkucilkan, aku, aku, dan segala apa yang aku pikirkan selama ini.

Bahkan saat aku memberikan penilaian terhadap orang lain disekitarku, untuk orang yang aku cintai, aku benci, aku hormati, aku hina, aku senangi, aku jahati, dan segala yang aku pikirkan terhadap seseorang selama ini. Bisakah aku menjadi aku tanpa aku yang memberikan penilaian terhadap aku, orang lain bahkan terhadap sesuatu yang ada.

Lalu dengan aku dan apa yang aku inginkan. Menerima bahwa apa yang aku inginkan tidak dapat aku dapati, juga apa yang telah aku dapati dan apa yang aku inginkan lagi. Aku dan apa yang aku inginkan, bagaikan jaring yang mengurung hati dengan keinginan-keinginan dalam aku dan orang lain. Bisakah aku menerima atas semua dari apa yang telah ada saat ini dengan rasa syukur dan tanpa penilaian apapun?

Aku dan pikiranku bagaikan sebuah buku dengan lembar tanpa batas dan seorang penulis yang selalu siap dengan pena ditangannya. Yang akan bergerak terus dalam waktu dalam pikiran dan rasa. Bisakah aku menerima tanpa semua itu dan menelanjangi diriku dengan apa yang selama ini melekat ditubuhku? Menjadi aku tanpa apa-apa dan aku tanpa alam pikiran, alasan dan penilaianku atas apa pun.

Jika orang menyebutkan bahwa itu aku mati dan tiada, apakah aku dapat menyadari bahwa semua itu tidak ada apa-apanya. Hampa, nol, atau nihil.

Beranikah diriku melihat aku apa adanya, tidak ada apa-apa, dan bukan siapa-siapa?

Dunia Cermin

Jika melihat manusia dengan apa yang dipikirkanya bagaikan menyelam lautan yang tanpa dasar, lengkap dengan segala keindahan dan ancaman yang ada didalamnya. Saat sebuah pikiran muncul didalam benak seseorang, hanya dirinyalah yang mengetahui dengan pasti apa dan bagaimana sesungguhnya. Apakah sebuah ketulusan, keangkuhan, keakuan, kesombongan, atau bahkan sebuah pembuktian diri terhadap sesuatu, hanya manusia dan hati nuraninya yang mengetahuinya dengan pasti.

Tetapi apakah seseorang itu dapat jujur dengan dirinya sendiri apa dan bagaimana serta apa yang sesungguhnya yang dia inginkan?

Jika aku adalah seseorang yang dia cerminkan dalam sebuah dunia kaca yang penuh dengan keakuan, bisakah aku menempatkan seseorang disekitarnya seperti apa yang dia pikirkannya terhadap diri dia sendiri?

Bisakah aku menerima bahwa aku telah berbuat salah walau hanya untuk membuktikan bahwa aku suka, ingin memiliki, bahkan terlihat lebih dari dia yang ada disekitar aku? Bisakah aku menerima bahwa dia juga memiliki keinginan akan dia dan ruang yang ada di dunia cermin ini?

Jika dunia cermin ini menjadi sebuah buku yang suatu saat aku dapat membacanya kembali, bisakah aku menerima aku yang aku inginkan dengan dia dia yang ada disekitarku ternyata tidak seperti apa yang aku inginkan? Apakah aku hanya tinggal membalikkan cermin, memecahkannya atau bahkan membuangnya dan menggantikan dengan cermin seperti apa yang kita inginkan?

Bisakah aku mengakui dan menerima bahwa apa yang aku lakukan adalah sesuatu yang tidak aku dan dia inginkan? Bahkan saat aku merasa aku lebih dari dia, menerima bahwa ternyata aku ternyata tidaklah lebih sebuah debu pun dari dia? Atau bisakah aku menerima bahwa aku memang tidak bisa menang atau bahkan kalah dari dia?

Dan jika ternyata saat ini aku membaca, merasakan dan memahami bahwa ada sesuatu pikiran bahwa aku tidaklah seperti apa yang aku rasakan saat ini, bisakah aku menjadi aku yang menerima aku seutuhnya?

Jika aku menjadi dan aku tiada. Maka aku menjadi dia, dan dia menjadi aku.


Catatan: ini hasil karya tahun 2010 lalu.

Menjadi Manusia Paranormal Apakah Sebuah Kebutuhan?

Ada satu milis yang sangat heboh mengenai penggalian bakat diri dalam bidang supranatural. Ada yang melalui penggunakan jimat atau amulet untuk berbagai keperluan, ada yang melalui mantra atau berbagai ritual, mengolah tenaga dalam, hingga menggunakan satu bagian dari sebagian kecil ajaran sebuah agama. Satu hal lagi, ada yang sibuk dengan membanggakan diri dengan kemampuan supranya, mengaku menjadi indigo, serta membuka mata ketiga untuk membuka gerbang kemampuan super lainnya. Dengan berbagai macam alasan, perlukah itu dilakukan?

Memang beberapa manusia terlahir sensitif, tetapi menurutku semua manusia mempunyai kata hati untuk menentukan pilihan dari apa yang ingin dia lakukan dalam hidup. Di luar konteks agama yang ada, menurutku dengan sikap kerja keras, berfikir positif, dan menjalankan semuanya dengan niat yang baik tanpa merugikan orang dan alam sudah cukup bagi manusia untuk menjalani hidupnya.

Penggalian potensi diri perlu dilakukan, tetapi memaksakan diri untuk menjadi sesuatu apalagi yang berbau supranatural akan menguras banyak energi dan materi yang mana semua itu dapat dia gunakan sebagai modal untuk berusaha agar mencapai apa yang dia inginkan.

Lalu ada pertanyaan lain, apa istimewanya diakui menjadi seorang Indigo? Mempunyai tingkat sensitif yang lebih tinggi dari orang pada umumnya juga bukanlah sesuatu hal yang patut dibanggakan jika dia menggunakannya untuk menonjolkan si ‘aku’ tanpa membantu orang lain. Apakah aku mendeskreditkan orang indigo? Tentu tidak, karena aku merasakannya sendiri dan tidak ada yang istimewa dengan itu semua.

Jika diberi kelebihan itu semua secara natural, apakah itu menjadi alasan menjadi istimewa di mata manusia lain? Karena sesungguhnya semua itu sama di hadapan Sang Pencipta, tidak ada keistimewaan bagi orang indigo atau orang yang mempunyai kemampuan supranatural. Dan akan menjadi lebih celaka lagi jika mereka menggunakan itu secara komersial. Dan yang lebih sulitnya lagi, mereka tumbuh subur karena memang mereka dicari orang yang tidak percaya diri dengan apa yang dia punya. Tentunya, ada suppy ada demand. Lalu, bagaimana dengan kebutuhan manusia untuk hidup?

Manusia itu semuanya dikaruniai kemampuan luar biasa untuk menggunakan otak, pikiran dan perasaannya untuk bertahan hidup dan membuat semua apa yang dia butuhkan. Hanya dibutuhkan tekad dan niat untuk berusahalah yang dapat membawa manusia keluar bumi dan menciptakan teknologi lainnya untuk menunjang aktifitas hidupnya.

Walau semua itu kembali ke diri kita sendiri untuk memilih bagaimana menjalani kehidupan di dunia ini, tidak ada salahnya untuk kita lebih mengenal diri sendiri dan lebih bijaksana untuk memilih serta tidak menggunakan apa yang kita punya untuk merugikan orang lain apapun alasannya.

Sejauh Apa Kita Mau Perduli?

Tidak ada yang salah untuk menjadi lebih kritis dan lebih perduli untuk hal yang ada di depan mata kita. Contohnya saja dengan penggunaan styrofoam dalam kemasan makanan. Hal ini awalnya terjadi saat aku memposting sebuah foto sungai yang permukaan airnya hampir tertutupi sampah Styrofoam. Lalu kakak kelasku ada yang bertanya, bagaimana dengan produk kemasan yang dipakai salah satu makanan Jepang cepat saji yang telah memberikan logo aman bagi lingkungan? Karena penasaran, akhirnya kuhabiskan beberapa waktu sore hari ini untuk menelaah informasi lebih lanjut mengenai bioplastik ini.

Setelah beberapa saat, terdapat banyak informasi mengenai sang bioplastik ini. Iseng punya jari-jari kritis ternyata website sang produsen pembuat kemasan yang dibuat tahun 2010 itu tidak ada info lebih lanjut selain masih dalam pengembangan tanpa ada informasi lebih detail. Hanya ada tulisan yang memberitahukan bahwa plastic ini dapat terurai beberapa tahun, dan ada catatan dibawahnya bahwa hal itu terjadi tergantung dari panas, tingkat intensitas cahaya matahari dan kelembaban. Cukupkah percaya hanya dengan ini?

Untukku, tentu saja tidak! Akhirnya aku kembali mencari informasi lebih lanjut mengenai bioplastik ini. Hingga pada satu ulasan website greenliving (http://www.greenlivingonline.com/article/truth-about-bioplastics) yang menerangkan bahwa jangan mudah percaya dengan apa kata tulisan pada produknya. Tetap saja banyak kondisi external yang dapat menjadi penghambat dari proses tersebut. Terlebih lagi, menurutku, sesuatu yang diciptakan itu, termasuk energi yang terkandung dalam satu benda, tidak dapat hilang begitu saja tanpa berubah menjadi sesuatu materi lain. Dengan catatan, tetap saja produk itu perlu satu proses untuk daur ulang.

Bisa jadi, peletakan logo tersebut adalah sebuah strategi marketing sebuah perusahaan dengan mengambil hati konsumen dengan logo ramah lingkungannnya. Sejauh apa kontribusi perusahaan, dengan konteks ini sang rumah makan cepat saji tersebut, untuk membantu proses daur ulang kotak makanan yang mereka gunakan? Terlebih lagi jika masih dengan mudahnya kita melihat sampah dan sisa bungkusan tersebut dibuang tercampur dengan sampah lainnya atau bahkan terlihat di sebuah sungai atau sudut yang jauh dari kategori tempat sampah yang akan didaur ulang?

Jadi, jangan cepat percaya dari sebuah logo ramah lingkungan. Jadilah lebih kritis atas apa yang ada didepan kita dan menjadi lebih perduli untuk memulai gaya hidup yang lebih ramah terhadap alam. Bukan mengikuti tren yang ada, tetapi perduli untuk membantu bumi tetap menjadi tempat hidup yang aman dan nyaman bagi kita semua hingga anak cucu.

Mengutip sebuah kalimat dalam buku Panduan Masyarakat untuk Kesehatan Lingkungan yang dikeluarkan oleh Hesperian, “Semua yang berasal dari bumi harus dikembalikan ke bumi, dan semua yang berasal dari pabrik harus dikembalikan ke pabrik”.

Sunday, April 8, 2012

Be pro and know the consequence

Mempunyai satu cita-cita bagi setiap orang itu boleh banget dan sah-sah saja. Tetapi jika terlalu terobsesi dengan cita-cita tersebut, bisa jadi itu senjata makan tuan bagi apa yang kita kerjakan sekarang.

Hal ini yang mulai banyak terlihat dari beberapa temanku di kantor yang sedang mengalami demam beasiswa. Situasi tersebut selalu mewarnai hari-hari sepanjang tahun di kantor tersebut. Bagaimana tidak, mulai dari Januari para kandidat ADS mulai tegang menghadapi ujian yang ada diujung mata sampai pada bulan Februari saat pengumuman dilakukan. Lalu bulan Maret akhir sudah ada lagi pengumuman pendaftaran hingga bulan Agustus, lalu Oktober diumumkan kandidat yang akan melakukan test pada bulan Januari. Dan itu berulang sepanjang tahun. Belum lagi beberapa pengumuman beasiswa lainnya sepeerti Nuffic – Neso, Aminef, Beasiswa Jerman, dan lain-lainnya.

Satu hal yang aku lihat, baik dari kandidat yang sukses dapat beasiswa sudah mulai terlihat malas-malasan walaupun waktu training dan keberangkatan masih sangat jauh, hingga bagi kandidat yang belum beruntung atau calon kandidat lainnya mulai kasak kusuk mencari info sekolah dan beasiswa lain di internet, hingga belajar bahasa Inggris di waktu produktif kerja. Itu belum terhitung beberapa orang yang terobsesi dengan hobi lainnya hingga sosial media yang selalu terupdate setiap jam ataupun menitnya. Hal itu terjadi tidak terkecuali pada staf junior hingga staf senior. Yang lebih mengagetkan lagi, pada sore hari atau akhir waktu deadline mereka terlihat sangat stress buru-buru mengerjakan pekerjaannya dan mengeluh pekerjaan tersebut sangat susah dan banyak sekali. Apakah itu sudah terlalu umum terjadi?

Aku tidak munafik jika bilang aku tidak seperti itu, hingga beberapa tahun terahir, mungkin 3-4 tahun setelah mereview kembali apa yang sudah dilakukan. Aku menemukan banyak ketidakpuasan dan hal yang tidak tercapai seperti apa yang diinginkan ternyata adalah hasil dari akibat ketidakefisienanku sendiri dalam bekerja dan berusaha atas apa yang aku inginkan. Akhirnya aku belajar untuk menerima konsekuensi dari apa yang aku harus lakukan di depan mata, dimana ada saatnya aku bekerja di kantor, saatnya harus membaca, saatnya belajar hal lain, atau kegiatan lainnya tanpa harus tumpang tindih dan mengganggu prosesnya satu sama lain. Dengan kata lain, aku tahu apa konsekuensi yang akan kudapati dari satu pekerjaan yang harus diselesaikan, termasuk menjadi lebih profesional untuk segala sesuatunya.

Belajar untuk mendisiplinkan waktu kapan harus memperdalam penguasaan bahasa inggris, kapan belajar menulis, kapan membuka facebook, kapan browsing informasi di internet, kapan bekerja di kantor, hingga membaca surat kabar di kantor. Jadi jangan harap melihat aku membuka facebook di jam kerja, karena aku sudah mempolakan waktu membuka Facebook di malam hari. Awalnya tidak gampang memang untuk mulai mengatur waktu dan mengontrol fokus pada satu waktu, tetapi jika dilakukan pelan-pelan dan konsisten serta persisten, aku rasa tidak ada yang tidak mungkin.

Satu hal lainnya, mempunyai seseorang yang selalu menyemangati apa yang kita lakukan itu sangat membantu dan memudahkan proses tersebut. Seseorang itu bisa pacar, sahabat, teman, saudara, atau bahkan orang tua. Saat pertengahan proses yang kadang membuat galau, dengan menceritakan secara jujur kepada seseorang dapat membantu dan menyegarkan kembali tekad untuk merubah kebiasaan tersebut. Tidak gampang, tetapi hal itu sangat berarti untuk mengubah kebiasaan yang ingin diubah. Bahkan saat aku merasa usaha yang dilakukan tidak membuahkan hasil, harus percaya dan sekali lagi, HARUS PERCAYA bahwa usaha sekecil apapun itu, dengan niat dan doa yang tulus, akan membuahkan hasil.

Berusaha menyadari semua konsekuensi apa yg ada di depan mata dan berusaha menjadi professional di hal terkecil pun, Alhamdulillah, akhirnya itu yang mengantarkan aku untuk menimba ilmu lebih tinggi lagi di negeri orang secara gratis.

Aku senang tetapi aku sadar konsekuensinya... aku harus berusaha sebaik mungkin untuk tantangan yang ada di depan mata dengan tetap menjadi profesional di kantor untuk menyelesaikan tugas-tugas sebaik yang aku dapat lakukan.

Satu – dua orang yang bertanya kepadaku bagaimana resepnya untuk berhasil mendapatkan beasiswa itu, sudah pula aku jelaskan resep sederhana ini, tetapi sejauh apa mereka memahaminya? Yah itu pilihan mereka sendiri bukan?

Tuesday, April 3, 2012

Berfikir Resep Makanan

Beberapa hari ini, saatku perhatikan, setiap sore pikiranku selalu tertuju pada sebuah proses memasak sebuah resep baru.

Seperti sore ini, yang terpikirkan olehku adalah sebuah resep membuat daging hamburger tetapi hanya menggunakan jamur, bawang bombai, telur, bumbu-bumbu, dan oat. Jadi terekam diotakku, ada semangkuk oat, lalu dimasukkan bawang bombai potong dadu kecil-kecil, telur, dan jamur tiram. Lalu dikasih bawang putih halus, garam, merica dan ketumbar halus. Diaduk hingga menyatu dan dibuat pipih lalu digoreng.

Penyajiannya bisa dimakan seperti sandwitch atau hamburger. Hmn... akan kucoba ah liburan weekend panjang ini.