Satu hal yang menarik saat menunggu di sebuah lobby kawasan pemukiman,
banyak orang yang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan tidak mengacuhkan
lingkungan sekitarnya. Akibatnya? Orang akan terlihat dingin, acuh, mudah
curiga, dan cenderung individual. Benarkah?
Saat satu orang perempuan muda sexy berjalan dengan muka riang penuh arti
mengingat dengan mudahnya dia meyakinkan kekasihnya yang banyak uang itu untuk
memberinya setumpuk uang yang kini ada di kantung celana super pendeknya. Tanpa
sadar dia meraba saku tebal itu sambil mengenggam ponsel mutahir yang super
besar dan super canggih itu.
Bahkan kali ini tatapan mata Satpam yang hendak memberitahukan bahwa sang
perempuan itu berjalan terlalu ke tengah jalan mobil tak juga
digubrisnya. Mungkin pikirannya masih sibuk mengingat begitu mudahnya
mendapatkan apa yang dia mau hanya dengan menjajakan badan dan sikap manjanya
untuk dapat bersuka ria di pusat perbelanjaan yang menjajakan barang mewah
kesukaannya. Bahkan ketika sang Satpam tersenyum sopan dan mengatakan untuk
berhati-hati, tidak sedikit pun sang perempuan muda itu menoleh atau membalas
senyuman itu.
Tak lama, seorang wanita setengah baya yang berjalan dengan anggunnya dan
suara benturan sepatunya yang terlihat mengkilap membahana sepanjang lorong
lobby itu menarik perhatian semua orang, termasuk diriku. Tak ketinggalan tas
bermerk, wangi khas parfum mahal, dan berlian yang menghiasi tubuhnya seakan
menghipnotis perhatian pria maupun wanita di sekitarnya untuk menatap wanita
itu.
Yang menarik perhatianku adalah sorot matanya yang kosong dan terlihat lelah
seakan memancing banyak pertanyaan dibenakku. Apakah semua yang dia punya tidak
dapat menawarkan kegelisahan hatinya? Apakah masih ada hal yang belum dia
dapatkan di dalam hidupnya sehingga membuat dia tidak terlihat bahagia dengan
apa yang dia telah punyai? Bahkan ketika mobil mewahnya datang dan sang supir
membukakan pintu untuknya dengan senyum hormat dan sang Satpam yang tersenyum
untuk mengucapkan selamat sore, tidak juga dapat menggugah kesadarannya.
Tetapi sekali lagi sang Satpam tak gentar dan terpengaruh dengan apa yang
terjadi. Dan ketika suara batuk kecilku pun menarik perhatiannya, dia berkata
dengan sangat sopan,
“Mbak, anginnya kencang dan dingin, lebih baik nunggunya di dalam”, katanya
sang Satpam kepadaku.
Serta merta aku menjawab senyumannya dan berkata, “Terima kasih, Pak.
Sebentar lagi suami saya datang. Saya ingin melihatnya langsung dari sini.”
Kali ini senyum sang Satpam berkembang dengan ringannya, bak menggambarkan
rasa senangnya ternyata akhirnya ada yang menggubris perkataannya walau dia
seorang satpam pemukiman bertingkat ini.
Bahkan saat beberapa wanita dan pria yang terlihat sangat terhormat melintas
menuju sebuah mobil yang datang, sang Satpam tetap dengan senyum riangnya untuk
membukakan pintu mobil.
Sekali lagi,
tidak ada satupun dari mereka yang membalas atau menggubris sapaan sang Satpam.
Mereka terlalu sibuk berbicara dengan sesamanya atau memainkan ponsel seakan
dunia ada di genggamannya.
Hingga saat suamiku datang dan
kami berlalu dari lobby itu, saya hanya tersenyum dan menggangguk hormat kepada
sang Satpam yang tulus itu. Sang Satpam kali ini membalas dengan tersenyum dan
menggangguk dengan hormat.
Walau menjadi seorang Satpam,
tentunya tidak mudah untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan berhadapan
dengan tipe orang-orang seperti tadi. Apapun anggapan orang lain kepadanya,
menganggap dia tidak ada atau menganggap dia hanya satpam rendahan yang tidak
perlu diperhatikan, sang Satpam tetap menjalankan tugasnya dengan baik untuk
menjaga dan berusaha menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.
Ataukah kita sebagai penghuni
sudah terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing dan tidak lagi melihat di sekeliling
kita?
Apakah senyuman kita sudah
terlalu mahal untuk diberikan kepada orang lain?