Friday, July 5, 2013

Belajar untuk Tersenyum



Satu hal yang menarik saat menunggu di sebuah lobby kawasan pemukiman, banyak orang yang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri dan tidak mengacuhkan lingkungan sekitarnya. Akibatnya? Orang akan terlihat dingin, acuh, mudah curiga, dan cenderung individual. Benarkah?

Saat satu orang perempuan muda sexy berjalan dengan muka riang penuh arti mengingat dengan mudahnya dia meyakinkan kekasihnya yang banyak uang itu untuk memberinya setumpuk uang yang kini ada di kantung celana super pendeknya. Tanpa sadar dia meraba saku tebal itu sambil mengenggam ponsel mutahir yang super besar dan super canggih itu.

Bahkan kali ini tatapan mata Satpam yang hendak memberitahukan bahwa sang perempuan itu berjalan terlalu  ke tengah jalan mobil tak juga digubrisnya. Mungkin pikirannya masih sibuk mengingat begitu mudahnya mendapatkan apa yang dia mau hanya dengan menjajakan badan dan sikap manjanya untuk dapat bersuka ria di pusat perbelanjaan yang menjajakan barang mewah kesukaannya. Bahkan ketika sang Satpam tersenyum sopan dan mengatakan untuk berhati-hati, tidak sedikit pun sang perempuan muda itu menoleh atau membalas senyuman itu.

Tak lama, seorang wanita setengah baya yang berjalan dengan anggunnya dan suara benturan sepatunya yang terlihat mengkilap membahana sepanjang lorong lobby itu menarik perhatian semua orang, termasuk diriku. Tak ketinggalan tas bermerk, wangi khas parfum mahal, dan berlian yang menghiasi tubuhnya seakan menghipnotis perhatian pria maupun wanita di sekitarnya untuk menatap wanita itu.

Yang menarik perhatianku adalah sorot matanya yang kosong dan terlihat lelah seakan memancing banyak pertanyaan dibenakku. Apakah semua yang dia punya tidak dapat menawarkan kegelisahan hatinya? Apakah masih ada hal yang belum dia dapatkan di dalam hidupnya sehingga membuat dia tidak terlihat bahagia dengan apa yang dia telah punyai? Bahkan ketika mobil mewahnya datang dan sang supir membukakan pintu untuknya dengan senyum hormat dan sang Satpam yang tersenyum untuk mengucapkan selamat sore, tidak juga dapat menggugah kesadarannya.

Tetapi sekali lagi sang Satpam tak gentar dan terpengaruh dengan apa yang terjadi. Dan ketika suara batuk kecilku pun menarik perhatiannya, dia berkata dengan sangat sopan,

“Mbak, anginnya kencang dan dingin, lebih baik nunggunya di dalam”, katanya sang Satpam kepadaku.

Serta merta aku menjawab senyumannya dan berkata, “Terima kasih, Pak. Sebentar lagi suami saya datang. Saya ingin melihatnya langsung dari sini.”

Kali ini senyum sang Satpam berkembang dengan ringannya, bak menggambarkan rasa senangnya ternyata akhirnya ada yang menggubris perkataannya walau dia seorang satpam pemukiman bertingkat ini.

Bahkan saat beberapa wanita dan pria yang terlihat sangat terhormat melintas menuju sebuah mobil yang datang, sang Satpam tetap dengan senyum riangnya untuk membukakan pintu mobil. Sekali lagi, tidak ada satupun dari mereka yang membalas atau menggubris sapaan sang Satpam. Mereka terlalu sibuk berbicara dengan sesamanya atau memainkan ponsel seakan dunia ada di genggamannya.

Hingga saat suamiku datang dan kami berlalu dari lobby itu, saya hanya tersenyum dan menggangguk hormat kepada sang Satpam yang tulus itu. Sang Satpam kali ini membalas dengan tersenyum dan menggangguk dengan hormat.

Walau menjadi seorang Satpam, tentunya tidak mudah untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan berhadapan dengan tipe orang-orang seperti tadi. Apapun anggapan orang lain kepadanya, menganggap dia tidak ada atau menganggap dia hanya satpam rendahan yang tidak perlu diperhatikan, sang Satpam tetap menjalankan tugasnya dengan baik untuk menjaga dan berusaha menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman.

Ataukah kita sebagai penghuni sudah terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing dan tidak lagi melihat di sekeliling kita?

Apakah senyuman kita sudah terlalu mahal untuk diberikan kepada orang lain?


No comments: